Kamis, 07 November 2013

Taman Puisi Herdoni Syafriansyah


CINTA DAN KEHIDUPAN

TENTANG KEHIDUPAN


DAN

kepada siapa aku mencari
jutaan mil tubuhku melangkah
rasa lapar kutikam sudah
aral lintang kuterjang sudah
fajar senja kulahap pedih

aku mencari
ini hari apa? aku mencari apa?
dan aku kembali pergi

Sekayu, Mei 2011



Pisau Mata Puisi

Aku pisau yang berputar, terbang dan siap menghujam. Aku kapal yang berlayar, dengan hembusan angin aku melaju. Kau karang yang diam, terhempas-hempas lidah gelombang. Kau telaga yang teduh, aku berendam dalam tubuhmu. Apiku nyala, lidahku lancip kata, dan pelukku mesra cinta.

Aku angin yang bicara, aku kata yang mata, aku ungkap yang siap. Pisauku pisau puisi, karangku karang puisi, telagaku telaga puisi, jiwaku jiwa puisi. Tegakku puisi, rebahku puisi, tubuhku puisi. Puisiku berlayarlayar mengorek kedalaman jiwamu.

Sekayu, 3 November 2011, 09:47



Pada Suatu Malam, di Sebuah Desa

serangkaian burung layang melintas petang di bening sungai musi
juga kibas pasukan kelelawar berjumlah belasan
mereka meniti mencari jejak nafkah pada hitam malam sebuah desa

kelibaikelibai hutan sumatera yang menggelap
milyaran gemintang pasir basah ketika surut sungai
kilau matahari sangat nyata menjelang tenggelam

di sebuah desa, seorang gadis kecil terkena asma
di sungai, pengayuh perahu melunas rapat ke tepi
perawan dan wanita mencuci di atas batang, anakanak saluang berkilatan
rumah yang terbuat dari bambu

dalam selingkupan daun pisang,
menjelang pagi anak lawar setia menanti induk kembali
sayang sang induk tak akan pulang, selongsong pelor
menembus jantungnya hingga meradang

sang induk sudah mati, ditembak lelaki dari sebuah desa malam tadi

Sekayu, 20-22 September 2011



Burung Kecil

Bersama hembusan angin, burung kecil kita pergi meninggalkan keluarga
Ia melangkah hidup sendiri tanpa sesiapa sesuka arah
Hendak mengembara, mencari pengalaman katanya

Burung kecil pergi
Banyak pesona sepanjang langkah yang disapanya
: gunung hijau nun menjulang, kilau pelangi indah membentang,
mekar bunga diterpa mentari pagi, alunan nadanada alam yang syahdu di hati—
Burung kecil kita bersuka riang sekali

Harihari berganti, keindahan alam dan pengalaman banyak sudah dicecapi
Lewat duabelas minggu burung kecil kita bertualang, ternyata kini ia ingin pulang

Sedikit banyak penghalang selama ini selalu tuntas ia hadapi; ganasnya topan, lengking petir dan tajam hujan, pemangsa yang jelek, segala rintang dan bahaya –tak pernah sanggup membuat burung kita surut dalam mengembara

Burung kita tetap dan terus bertualang dalam kembara
Tetapi, pada akhirnya, adalah rindu yang telah membuat langkahnya berpaling jua
Dalam sepi burung kita merasa semacam ada ruang yang telah kosong di dalam hati
Burung kita tibatiba menangis, ia ingin memeluk keluarga; ia merindui keluarga,
ingin kembali pulang, pulang kepada keluarga

Sekayu, 6 Maret 2012



Kami yang Hendak Pulang

tanah di langit, lukisan naga tidur
angin berputing menebas ilalang
menghempashempas tajam
kami anak burung yang hendak pulang
ilalang yang rendah merunduk bergoyang
sujud ke kiri tengadah ke kanan
petir menghitam nuansa kelam
pepohonan tumbang
hujan berpeluru menyerbunyerbu
ya Tuhan, lindungi kami dalam kepulangan ini

Kota Randik, 17 Oktober 2011: 15.46



Sayang Kepada Anak

Di antara dahan pohon beringin yang sangat hijau, bulirbulir air bening ngalir menggantung. Hujan masih mengguyur di terik siang; seekor induk burung
masuk sarang –terlambat pulang.

Menangislah sang anakanak; bersedih hati maka sang induknya.
Minta peluk sang anak-anak; maka mendekaplah sang induknya.
Cericit mendecit: berceriap cuapcuap; sayang induk kepada anak.

Sekayu, 17 Januari 2012




Di Bumi Ada Tangis, di Surga Ia Bahagia

pagi ini seorang lelaki yang baik telah pergi
banyak orang yang menangis dan bersedih
senyum dan ceria pun berguguran ke lantai
bumi turut berduka hingga sembab matanya
hilang satu lentera kasih di hati mereka

pagi ini seorang lelaki yang baik telah kembali
kami semua di sini tersenyum menyapanya
wajah lelaki itu bercahaya dan senyumnya bahagia
surga bertasbih dan tuhan hangat memeluknya
                   
kami malaikat tersenyum menyalaminya

Sekayu, 7 November 2011



Maka Sayangilah Apa yang Ada

Dulu ia ingin cepatcepat menjadi dewasa, orang dewasa lebih dihargai pikirnya.
Kini setelah tumbuh dewasa ia menyadari bahwa ternyata hidup itu begitu susah, dan sekarang ia malah menangis ingin kembali menjadi anak-anak saja.
                                     
Sekayu, 23 Maret 2012



Ikan yang Berenang

Kemana lagi aku mencari satu jiwa yang terpisah jauh dan pergi? Pada dua dunia yang bersisian, pada luka dan jarak yang memar. Pernah kita bersama-sama di Sungai Musi. Di bawah teduh pohon dan semak yang tenggelam kita berenang menyusur sungai kala umur mulai bertunas. Atau berguru kepada Ibu bagaimana dapat tegar melawan arus, mengepakkan gemulai sirip, dan menajamkan pandang kepada penguasa.

Hari demi hari kita belajar bersama-sama -kepada segala kitab, kepada segala alam. Dan kita menjadi dewasa. Kita mengenal ratusan rupa, ribuan sejarah, jutaan kisah. Namun tidak segalanya sesuai tanda. Kemana lagi aku mencari satu jiwa yang terpisah jauh dan pergi? Ketika suatu hari tangan yang kuasa menangkapmu, ketika tubuhmu lenyap ke dalam perahu. Aku menjerit …, bagai mata kayu –perih- menusuk jantungku, bagai satu sirip tercerabut dari tubuhku. Pedih, ai … alangkah sangat pedih.

Kita; ikan yang pernah bersama ribuan hari menyusuri Sungai Musi. Kita sepasang saudara yang pernah mengenal ratusan kisah Sungai Musi. Kita yang pernah tak terpisahkan. Kita yang pernah selalu bersama. Berenang-renang di dalam tenang aliran sungai. Tapi kini, satu sirip telah tercerabut. Sebuah dunia yang bersisian, pada luka dan jarak yang memar. Katakan! Sungai mana harus kutuju agar kita dapat berjumpa lagi, saudaraku?

Sekayu, 31 Oktober 2011



Hanya Untuk Satu Hari, Untuk Kamu Aku Sayangi

Aku mengenalmu sebelum dewasa. Kebersamaan, hujan, bebatuan, perjuangan, adalah kisah hidup yang sama-sama kita rekatkan. Matahari yang panas, matahari yang meredup. Air yang hangat, air yang sejuk. Bersamamu dalam genangan telaga adalah hari-hari yang membahagiakan. Tahun-tahun yang penuh sukacita dan canda.
                    
Aku mengenalmu sebelum dewasa; saat aku hanya tahu kata ceria. Andai jalannya waktu dapat aku halangi, aku tak pernah inginkan semua ini. Seiring pecahnya kepompongku, bertumbuhnya sayapku, maka segalanya telah berubah: kita hanya punya waktu satu hari. Kita pernah belajar diam, kita pernah belajar kesusahan. Namun kita tak pernah belajar untuk siap menghadapi perpisahan.

Sayap ini memang indah dan terbang memang menyenangkan. Namun, apalah artinya keindahan dan kesenangan bila akan ada hati yang terpisahkan? Bila tiada bahagia kita dapatkan? Dahulu –saat menjadi larva kecil- aku sangat ingin punya sayap agar aku bisa terbang bebas. Tapi kini, aku sangat membenci sayap ini, aku membenci terbang ini, karena aku mencintai kamu. Karena Tuhan telah mengirim kabar malam kemarin, tiada matahari untukku esok pagi. Kuharap, tiada hati yang bersedih.

Bila nanti kau membuka mata –kepompongmu pecah- dan kau mendapati nyawaku tiada, maka pahamilah hatiku ini. Aku yang selalu sayang kamu. Sesungguhnya, aku ingin kita bisa bersama lagi walau hanya satu hari.

Ternate, 29 Oktober 2011



Sebuah Tulisan Larut Malam

dingin di dalam kalbuku; berdesir aliran darah
lembut ngalir napas waktu membelai hening kata
nyamuknyamuk kurus yang mengintai manis darah
aku berkata : kita senasib sayang, reguklah manisku semaumu

telah lewat tengah malam, pintu dan jendela seluruh sudah terkunci;
tak ada angin menerpa, tak ada lolongan anjing, kucing kawin-
hanyalah putih hujan yang rintik menelusup atap retak

akh … sayang, mengapa masih juga kau mengintai darahku
apalagi yang kau tunggu? Sedang di sini aku juga merasa lapar
lekaslah sayang … lekaslah datang padaku

kau tahu? sekarang kita selalu merasa lapar di dalam jiwa
janganlah kau ragu apalagi malu; lapar tentu bukan persoalan baru
sudah lama rakyatku merasa lapar lalu hidupnya menjadi perampas
sejak dahulu rajaku merasa lapar lalu hidupnya memangsa rakyat
dan engkau merasa lapar lalu mengintai manis darahku?

Hidup lapar! Ayo kita kembangbiakan lapar agar subur dan merata

kemarilah sayang, nikmatilah darah dan tubuh wangi segarku
aku tak bisa lagi menunggu, atau aku akan akhiri manis laparmu
aku hanya sedang serius di sini, namun puisi telah menarikku ke dalam kata
ke dalam permainan api di tengah rintik hujan dalam waktu memacu malam
sedang engkau masih saja terus mengintai, lekaslah bertobat ke tubuh pisauku

Sekayu, 21 Desember 2011: 23.04



Kucing, oh kucing!

mengapa tak mau kau teteki orokmu? padahal tangisnya tusuk kupingmu
mengapa begitu engkau pada dirinya, adakah noda pada lahirnya?

andai oh seandainya bulat mata itu mampu berbicara dan tak terhalang oleh kuncup kelopak putiknya, ia akan tersenyum dengan senyuman bening kristal yang ia ukirkan untukmu semata dan berkata, “oh bunda! rupamu bagai bidadari elok nan jelita turun dari sungai surga berkilau. segar, sejuk, penuh keceriaan.
dikau ibu yang kusayangi, namun kau tak menganugerahkannya.
maka jadilah kau… aku benci!!”

kucing oh kucing!
kau adalah makhluk rumahan, seharusharusnya tingkahmu beradab
atau setidaktidaknya diberadabkan
namun, mengapa tega kau ingkari orokmu
kadang kau titipkan ia pada busuk kumuhnya tong sampah
kadang pula kau taruh ia sesukamu sembarang kentut

kucing oh kucing
andai semua kucing berlaku sama, malangnya anak kucing
oh kau anak malang, oh kau anak kami
anak malang… anak kami
terimalah nasibmu wahai anak malang yang dilupakan

Sekayu, 2010



Aku Hilang Dalam Miskin

Jauhjauh aku terbang menghindarkan diri
Namun biola lara ini masih jua
mengikat dan mengejarku dalam melodi
Kepada samudera luas aku bertanya,
haruskah aku memecahkan karang untuk mengobati luka
pada sekujur tubuhku yang telah lelah?

Hidup, hidup ini …
Malam, malam ini …

Bukan mauku tapi harus aku menjalani

Telah panjang perjalananku terbang
Cukup telah pahit manis kucecap
Tentang keadilan dalam kehidupan
mustikah aku pertanyakan?

Menjadi seorang burung penghibur; biduan malam,
Hanya dengan suara-suara aku sampaikan luka kehidupan

Beban keluarga; tanggungjawab anak pertama;
adik yang harus sekolah; tanpa ayah; ibu yang renta

suratan, suratan ini …
hari, hari ini …

Betapa ingin aku menghindarkan diri dari segala lara ini
Namun tanggungjawab yang telah mengikat, citacita dan harapan yang secercah
membuat aku masih tegak berdiri bertahan menjalani

Bumi selalu berputar berlalu; lembar  terbuang berganti yang baru
Sejujurnya mata ini takut menatap masa depan; menatap derai harapan
sebab masa depan dan harapan adalah taruhan hidup yang kejam

Aku pernah duduk di bangku sekolah
Tapi rasanya hanya hilang waktu ini
Hanya hilang pengetahuan ini

Aku hanyalah burung yang tak berdaya
Bahkan untuk orang yang menyayangiku pun, aku lemah …

Bumi tetap berputar berlalu
Lembarlembarnya terbuang berganti yang baru

Aku sedih, banyak sudah waktuku yang berlalu
Aku takut, banyak telah dosa yang pernah kukecup
Aku takut Dia membenciku; Meski aku tahu, Dia adalah Penyayang dan Pengasih

Maka kepada samudera luas aku bertanya :
haruskah aku leburkan tubuh ini agar segala dukaku menjadi tiada terasa;
segala laraku menjadi hampa

Sekayu, Januari – 3 Februari 2012



Nyanyian Angin Potret Buram

masih ada angin berhembus di negeriku
ia menembus setiap sudut rumahrumah
angin selalu berlayar membawa kabar
dan nyanyiannya yang berani terkadang masih terdengar
sebab selain angin, hampir lainnya lemah terkapar

ada yang merangkak menyeduh nasi aking, ada yang terbahak makan nasi bunting
ada rumah korek api yang berhimpit, ada rumah selapang bandara nan luas
ada tua renta yang sendiri menunggu mati, ada yang muda terbahak tanpa henti
ada yang tulang kering berbalut kulit gosong, ada yang berlemak serupa ayam potong
ada yang gajinya sebutir beras, ada yang gajinya sebongkah emas
ada yang memelas di jalanjalan, ada yang memeras di jalanjalan

dan angin itu masih berhembus
dan angin itu masih menembus
dan angin itu berlayar lagi
angin itu terdengar lagi
ia masih ingin didengar
ia masih mau menyampai kabar
sebab selain angin, hampir lainnya lemah terkapar

di negeriku
ada juga ikan asin yang kering kerontang
sedang di sisinya ada mas koki yang gendut makmur

di negeriku
ada yang setahun menjerit lapar
sedang di sisinya ada yang setahun berdiam kekenyangan

ada yang menggila menumpuk harta
sedang di sisinya bergelimang fakir yang papa

ada polusi dan banyak korupsi

            dan angin itu masih berlayar
mengirim salam risau mencari kabar
            walau tak akan habis derita didengar

September – Oktober 2011



DENDAM AKU SANG ULAR

Pembuka

Berdoalah, kalian yang terkutuk. Kelak, bagaimana dalam kau menghindar taringku akan menghisap jiwamu. Kepada kalian yang tak kenal kasih. Kepada kalian yang keji dan tak berhati.

Pasal A ayat 1

Tiada boleh bangsa kita mengganggu makluk Tuhan selain yang telah menjadi ketetapan mangsa. Sesama ular kita harus saling mengasihi, saling menyayangi dan melindungi. Mengabdi kepada Tuhan dengan tulus dan penuh cinta kasih.

Pasal A ayat 2

Waktu akan terus mengalir, berat hidup sepikul kita resapi. Menolong saudara yang lain adalah keharusan yang harus kita jalani. Menyongsong bergulirnya waktu dengan tatap senyum adalah ibadah dalam kasih.

Pasal A ayat 3

Bersahabat dan berbaiklah kepada segalanya, kecuali, yang bernama manusia. Sebab, hanya 5 dari 100 manusia yang tidak akan membunuh kita, hanya 1 dari 100 manusia yang mampu menyayangi kita. Perjalanan kita semakin senja.

Pasal B ayat 1

Menjalin persahabatan antar sesama makluk Tuhan yang berhati dan saling berkirim kabar bila ada masalah atau kesusahan di antara teman.

Pasal B ayat 2

Dilarang membunuh terkecuali dendam.

Pasal B ayat 3

Yang membunuh dan merajam bangsa kita tanpa dosa maka baginya adalah kematian yang sama. Tiada Tuhan dan agama yang merestui aniaya, dan hukum pasalpasal kita menyilahkan membalas perbuatan dosa. Bila kita memaafkan perbuatan mereka maka baginya habislah perkara. Tapi, akankah kita sudi memaafkannya?

Penutup

Pada suatu sore, kala senja mulai tengggelam dan malam telah menghitam. Seekor makluk kecil menadahkan wajah meminta-minta, memelas-melas perih. Ia menjerit memohon. Suaranya sedu sedan, tak sengaja ia memasuki kampung kalian. Seolah sangat menikmati kalian membantai dan mencabik-cabik tubuh anakku yang malang. Kepada kalian yang tak kenal kasih. Kepada kalian yang keji dan tak berhati. Berdoalah, kelak taringku akan sampai dan hinggap menghisap dosa serta nyawa di tubuh kalian. Sumpahku tak akan lebur sebelum nyawa kalian menjadi abu.

Sekayu, 1 – 2 November 2011



Pisau di Hati dan Burung di Langit Muram

Ini hari bahagiamu
tapi tragedi menimpamu
Ini hari bahagiamu juga hari paling sedihmu

Mentari hilang cerahnya
Ada pisau yang menyayat hatimu
menyembiluinya hingga terluka
dan darah mengalir begitu pedihnya

Ini hari bahagiamu
juga hari paling sedihmu
Antara bahagia dan luka bergolak di hatimu
Tapi ternyata lukanya lebih dalam terasa

Hari ini kau menikah bersama orang yang
paling kau cinta, namun sekejap setelahnya
orang yang telah melahirkanmu tak lagi bernapas
Dan burungburung gagak menghitam di langit muram

Sekayu, Februari 2012



Tiada Malam yang Lebih Derita Lagi

Tiada malam yang lebih derita lagi
Udang tua berenang di malam hari
Hari hujan malam pun gelap sekali

Dari langit kilat turun melesat
Dari kilat ia kembali mengingat
Gagah, perkasa, sukaria semasa muda
Ia besar dan jumawa, kulit-kulit baja
Tak lalai menindas kaum lemah

Ikan bercinta di malam senyap
Kilat kembali lenyap; melingkar gelap

Udang tua kini bongkok dan rapuh
Teman telah mengianati, keluarga juga pergi
Tanpa daya menerobos arus dingin
Debu terkibas angin; terpental tak berarti
Maratah tulang sendiri: rasanya sakit hati

Sekali waktu udang tua kerap menyesali
Pagi telah pergi tiada berarti; sisa hidup penuh caci dan benci
Malam gelap penuh duri; tiada yang lebih gelap lagi

Sekayu, 25 November 2011



Di Puncak Bukit

Di puncak bukit nan gersang seekor burung berbaring lelah
Sayapnya patah; darah kering beku. Pedih luka
tertembak. Tertatih melayang hingga ia jatuh di sana;
di puncak bukit nan gersang.

Merayap. Matanya redup. Ada pelangi yang melintas,
ada cahaya yang mengkilat. Matahari tak menyentuh kulit
Berkibar dingin dan keteduhan; meresap cinta dan
kebanggaan, ia mati dalam perlawanan; perjuangan.

Sekayu, 19 – 21 Januari 2011




Cobalah Lihat

Aku tanah yang gersang, dalam tubuhku merekah kelopak-kelopak sengsara. Anak-anak yang bahagia kelaparan, menertawakan kematian, bermain kepedihan. Aku tanah yang gersang, tanah yang terabaikan. Bapak dan Ibu, lihatlah bahagia anak-anak ini. Anak-anak kerempeng yang lucu. “Lihat, mereka lucu sekali. Hitam dan dekil,” ucap kalian menatap dari singgasana.

Sebab ketamakan dan kepentingan pribadi kalian, anak-anak ini bahagia kelaparan. Memasak batu, menanak pasir, berkuah darah, tertawa menanti kematian. Tubuhnya hanyalah tulang, masa depannya hanyalah angan, pedihnya telah sehati, hidupnya tiada berarti, orangtuanya juga telah lama mati. Hahai… Bapak dan Ibu, kemanakah kalian? Mari lihatlah lagi anak-anak ini. Tertawalah sekali lagi. Habiskanlah roti di Negara ini, sebab kursi itu memang kita beli.

Aku ini hanyalah tanah yang gersang. Dalam doaku, kepada pemimpin yang baik semoga diberkati. Sedang kepada yang tak berhati: pisau Tuhan paling mata.

Sekayu, November 2011




Seekor Elang Masih Terbang

Pada sebuah pagi senar biola mengalir, nadanya menyusur ribuan kilo
Pagi yang biasa, hangat matahari menelusup daundaun pada cabang pohon
: menguarkan sisa-sisa embun

Burungburung kecil bersaing menduelkan kicaukicau lengking
Seekor elang membentang sayap penuh harap mengemis buruan :

Sareka – Sugih Rawas – Kasmaran – Ulak Teberau – Napal – Rantau Kasih,
Ulak Paceh – Bumi Ayu – Karang Waru – Karang Anyar – Rantau Panjang,
Sekayu – Lumpatan

Angin deras berkibar, peluh bercucur, seekor elang terbang mengharap daging
Sayupsayup, nada biola masih juga terdengar : alunan yang miris mengiris garis
Jarak telah jauh ditinggalkan; luka telah nganga hingga kapalan dirasakan
Derita telah dipatahkan hanya kepada cinta ia mekarkan!

Matahari menjauh bertukar posisi, pelan jiwanya akan angslup ke dalam malam
Sedang elang masih terbang mencari buruan; anakanaknya menanti di dalam sarang
Elang tersebut terbang merawankan hati, aliran waktu semakin sulit untuk ia pijaki
Ikan di sungai semakin langka, hutan terbabat semakin habis –bukan lantaran pribumi— sebab orang pribumi bersifat lugu yang hanya memikirkan bagaimana makan di hari ini

Angin deras berkibar; bulubulunya rontok terkalahkan; peluh masih bercucuran;
Hutan terbabat semakin habis; semakin dilindungi ia semakin tak terlindungi;
Nada biola terdengar semakin menjadi; lengking semakin menyayat hati
Kini dunia penuh berselimut gelap, seekor elang terbang tak patah semangat

Sekayu, 25 Desember 2011



Sajak Kehidupan

Untuk burung-burung yang selalu mendapatkan (merasakan) ketidak-adilan

Dunia terasa mendung: seperti hidup yang pedih; begitu muram kau rasakan
Mendung bagimu selalu; tak kunjung habis tak kunjung pergi memayungi hariharimu
Ketidakadilan yang tak putus tak habis kau rasakan hingga bernapas bagimu terasa menyesakkan. Sayapsayap yang menjadi berat; waktuwaktu yang terasa lambat; dan pahit yang tak putus merundung jiwamu hingga bagimu ia seakan berniat melenyapkan semua mimpi: semua harapan; bayang dalam hidupmu

Menghujan airmatamu setiap menjalani waktu
Pedih benar kau rasa memintasi hayat ini
Tertatih selalu setiap kau belajar mengepakan sayapmu
Ingin kau akhiri semua perjalanan sulitmu, namun tak akan, tepatnya tak bisa,
lebih tepatnya kau tak mau sebab kau masih punya keluarga; punya tanggungan dan beban-beban sosial yang tak ingin kau tinggalkan
Bersabarlah …

Hari-hari yang telah berlalu, derita serta lara yang tak putus kau rasa
Bersabarlah menjalani hidupmu kini, dalam penderitaan; ketakberdayaan
Terkadang cinta dan ketulusan justru akan lebih mudah hadir untuk kau temukan
(Mungkin, tak musti cinta lawan jenis. Cinta dalam persahabatan; kekeluargaan;
atau persaudaraan akan lebih kuat menelusup hatimu jika kau mau coba merasainya)

Bersabarlah burung-burung …
Bila sangkamu tiada lagi yang peduli kepadamu
Maka tentulah hal itu akan terjadi
Sebab, kau sendiri yang telah meyakini semua benakmu
Padahal, sesuatu sangkaan itu belum benar terjadi

Ceritacerita muram dalam harimu, derita serta lara yang kau rasa
Dengarlah hai burung, tak selamanya gelap akan menyelimuti raya
Hidup adalah perjalanan, juga permainan

Dalam ketakberdayaan; kesusahan
Akan lebih mudah kau resapi kehidupan
Akan lebih mudah kau dapatkan ketulusan
Akan hadir indah hidup yang kau nantikan

Tentu aku melihat, segala apa yang kau rasakan

Sejenak resapilah hidupmu. Kelak dimasa datang
andai engkau sanggup bersabar dan bertahan,
semua derita dan ketidakadilan yang kau rasakan
sesungguhnya adalah lelucon untuk kau tertawakan
Karena, aku pernah menjadi burung sepertimu

Sekayu, Februari 2012
 


Pada Sebuah Pagi

Pada sebuah pagi, burung dara memakan biji padi
Pada sebuah pagi, burung kutilang mulai mencari rizki
Pada sebuah pagi, sebagian orang masih bermimpi

Betung Banyuasin, 01 – 01 -2012, 06.14-15


Tentang Burungku


Burungku sangat periang; suka naik turun ekornya, meloncat-loncat tertawa, tajam serta nyaring suaranya. Ia juga cekatan dan lincah dalam bercinta. Banyak orang menjadi tertarik lalu melirik burungku, lalu memburu burungku. Kuakui, burungku benar sangat menawan.

Burungku cantik sekali: mungil runcing paruhnya, bening bulat matanya, kuning abu-abu bulunya, benar menawan bila di alamnya. Maka, jadilah banyak yang menggodanya, yang memburunya; ingin memilikinya.

Di dedaunan ada ulat, di cabang dan batang pohon ada ulat; ulat gemuk yang putih, ada juga kuning coklat. Burungku suka makan ulat. Di masa sekarang ini, burungku bahagia sekali. Ulat makanannya semakin banyak, sampaisampai pernah bikin heboh di segala media: di koran, radio, teve, dan tak ketinggalan di keyword mesin segala tahu.

Burungku senang hidup di zaman ini, saingannya dalam berburu tidak sebanyak dahulu. Perburuan liar telah menyebabkan banyak saudara sebangsanya yang ditangkap dan perlahan mati. Burungku kini semakin langka. Tapi burungku tidaklah sedih, lantaran kini saingannya dalam jodoh menjadi berkurang. Ulat-ulat gemuk penuh bertebaran tanpa perlu merasa kekurangan.

Burungku senang sekali hidup di zaman ini, zaman di mana saudara sebangsanya selalu mati setiap hari; di mana burungburung selalu diburu tak pernah henti.

Sekayu, Januari 2012



Burung yang Menangis di Malam Hari

Hendak bagaimana lagi :
terkadang dunia bukanlah tempat yang indah untuk burung yang tak berpunya.

Rasa yang dingin sehabis hujan, maka beruntunglah mereka yang bisa pulas rebah mengukir senyum berselimut hangat. Senja telah jauh sirna, malam pekat telah berjalan, sebagian mereka terlelap lebih cepat karena cuaca yang gigil. Namun anak-anak burung yang miskin malah mendecit membuat berisik, sedang induk burung hanya bisa pasrah menangis.

Sekayu, 30 Maret 2012




Dunia yang Berputar

Pada hari yang tak terduga –tepatnya sebuah pagi senin yang biasa, seekor burung yang lemah terusir dari ruang tempatnya bekerja selama ini dengan alasan yang sangat sederhana : tak ada lagi kursi dan meja. Dengan sedih matanya hanya bisa memandang, gemuruh di dadanya menyesak namun tertahan … betapa sakit hati rasanya dipermainkan. Matanya menyempurna pedih: ada sedih dan benci yang saling mengaduk membaur menyatu di dalam perih pedih itu. Sebelum benarbenar pergi burung kita sempat berkata, “Barangkali …” Ai—hatinya benar-benar terasa pedih, “barangkali … hari ini memang milik kalian. Tapi, tunggulah … ingatlah bahwa dunia ini berputar!”
Dan mereka (sang pengusir) lalu tertawa: haha ….

Setelah itu: angin berhembus lebih kencang dari pagi biasa, lebih kencang dari biasa, angin yang membawa tanda lukisan nasib pada makhluk yang berjiwa. Dan mereka (sang pengusir) masih saja tetap tertawa tanpa pernah menyadari bahwa segala yang fana bagaimanapun pasti akan tetap berakhir sebagaimana adanya.

Terkadang, arah angin memang dapat dibaca, namun, terkadang pula tak selalu sesuai kira. Adakalanya gelombang yang datang ternyata lebih kencang sehingga dapat membuat angin bergeser haluan : menyimpang dari perkiraan. Itulah hal yang kemudian terjadi: keadaan berubah; angin telah berbalik arah. Barangkali, roda hidup memang benar berputar; mungkin pula telah kehendak tuhan. Sekarang burung kita yang berada di atas, dan mereka yang dulu tertawa kini merenta-renta mengharapkan pertolongan sepanjang badan. Beberapa tahun telah berlalu, banyak sudah nasib waktu yang tandas di bibir gelas.

Pagi ini –tepatnya pada sebuah pagi yang biasa di antara rangkaian hari-hari yang memang tak juga istimewa, seekor burung yang dulu lemah dan terusir dari ruang tempatnya bekerja dengan alasan yang sangat sederhana : tak ada lagi kursi dan meja, kini dijumpai diharapkan pertolongannya oleh burungburung yang dulu pernah mengusirnya. Burung kita tidak lagi menyimpan emosi, sambil tersenyum kini ia berkata kepada mereka yang mengharap—

“Aku tidak pendendam, aku juga tidak marah. Hanya saja aku burung yang tak pernah bisa lupa atas apa yang pernah burung lain perlakukan padaku. Akan aku bantu kalian, tapi ingatkah kalian bagaimana peristiwa dahulu?”

Dahulu, beberapa tahun yang lalu mereka tertawa terbahak, tapi kini mereka menjadi burung yang papa dan hanya bisa tersenyum sambil berkata dengan malu, “sudahlah … dilupakan saja, yang lalu kita biarkanlah berlalu …”

Sekayu, 17 Maret 2012



Kangen

hanya tangis dan senyum di
dalam sepi

Sekayu, 8 Juni 2012



Burung Tanpa Sayap

Seekor burung yang cacat, berusaha terbang walau tanpa sayap
Kesunyian malam yang pekat, tak menyurutkan niat dan tekad
Duhai burungburung yang kekurangan, maksimalkanlah kelebihan
Perjuangkan impian kalian, segala apa yang kalian mau

Seekor burung yang cacat, dua ekor burung yang cacat,
beratus –berjuta burung yang cacat
Kasihi dan sayangilah hidupmu burungburung
Abaikan yang mengusikmu; mereka yang menghambatmu

Seekor burung yang cacat, dua ekor burung yang cacat,
beratus –berjuta burung yang cacat, tetap berusaha walau tubuh teralang

Lintang pahit kehidupan, sakit pedih yang meresap, janganlah terputus patah semangat
Wahai burungburung yang kekurangan, lihatlah segala apa dari kelebihannya
Burungburung yang cacat, burungburung tanpa sayap, ada cinta yang walau setitik
tak pernah pergi dalam hidup; yang menyayangimu. Mungkin tuhanmu, mungkin ibu-ayahmu, mungkin sesiapamu, mungkin pula impianimpianmu

Burungburung yang kekurangan, hiduplah selalu dengan segala harapan baikmu
Suatu harapan yang baik, laksana cahaya yang menyala dalam gelap kehidupan
                  
Sekayu, Februari 2012



Mengarungi Kehidupan

Berlayarlah … melajulah ….
Jangan takut melihat badai
sebab kita adalah lautan

Sekayu, 10 Oktober 2011